PIGMEN KLOROFIL DAUN SUJI (Pleomele angustifolia) SEBAGAI
ALTERNATIF PEWARNA MAKANAN ALAMI
Putri Mei Wahyuni
ABSTRAK
Pewarna makanan sintesis yang digunakan masyarakat
pada umumnya sangat membahayakan bagi kesehatan. Oleh karena itu perlu
dikembangkan pembuatan pewarna makanan
alami yang relatif aman bagi kesehatan. Salah satu alternatif yang bisa
digunakan yaitu pembuatan pewarna alami dari daun suji (Pleomele angustifolia).
Daun suji merupakan salah satu sumber zat warna hijau daun (klorofil) terbesar
jika dibandingkan dengan daun-daun pada tumbuhan yang lain. Daun suji ini sudah
lama dikenal oleh masyarakan sebagai zat pewarna alami. Klorofil yang dikandung
oleh daun ini juga bermanfaat sebagai zat antioksidan, antiseptik, agen detoks
dan penyerap kolesterol. Seperti yang telah dilakukan pada penelitian
sebelumnya, bahwa pembuatan pewarna dari daun suji ini dilakukan tahap
ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut yang sesuai
dengan sifat pigmennya. Disisni proses ekstraksi dilakukan dengan menggunakan
aseton 85%. Dengan perbandingan F:S yaitu 1:17. Kecepatan pengaduk yaitu 175rpm
dan temperaturnya 36,2°C. Daun suji ini juga sebagai salah satu tumbuhan yang
dapat tumbuh dengan baik dan menyebar diseluruh wilayah Indonesia yang berorientasi
pada kebutuhan yang semakin tertarik pada pewarna dari bahan-bahan alami,
terutama terkait dengan kesehatan dan keamanan pangan.
Kata kunci:
pewarna makanan alami, daun suji (Pleomele
angustifolia), klorofil, ekstraksi.
PENDAHULUAN
Tampilan makanan merupakan hal
pertama yang dinilai jika seseorang ingin mencicipi makanan terutama makanan
yang belum diketahui rasanya. Orang cenderung untuk memilih makanan dengan
tampilan yang menarik. Untuk membuat makanan tampak lebih menarik atau lebih
menggugah selera biasanya produsen makanan menggunakan pewarna.
Warna yang mencolok lebih disukai
konsumen, terutama anak-anak. Hal inilah yang menyebabkan produsen membuat
makanan dengan warna-warna yang menarik.
Hasil dari suatu penelitian menunjukkan bahwa warna untuk makanan menempati
urutan kedua dari kriteria penilaian, yaitu setelah kesegaran makanan.
Selanjutnya baru diikuti oleh bau, rasa, komposisi, nilai gizi dan seterusnya.
Pewarna makanan dapat
diklasifikasikan atas pewarna makanan alami dan pewarna makanan sintesis.
Pewarna alami dapat menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan ketahanan dan
kualitas pangan karena pewarna alami terbukti aman sebagai pewarna makanan
dibandingkan pewarna sintetik. Selain itu, pewarna alami jumlahnya sangat melimpah
di Indonesia. Bahkan penggunaan pewarna alami sebagai pewarnaa makanan saat ini
sedanng menjadi perhatian para konsumen dan juga industriawan. Kenyataan ini
karena penggunaan pewarna alami lebih menguntungkan dibandingkan pewarna
sintesis, yaitu tidak menimbulkan efek negatif bagi tubuh, mudah didapat, serta
dapat menimbulkan rasa dan aroma khas. Sedang pewarna sintetik dapat berdampak
negatif yaitu menyebabkan toksik dan
karsinogenik. Oleh karena itu perlu dikembangkan pewarna alami yang banyak ditemukan
di lingkungan sekitar, terlebih lagi Indonesia adalah negara yang sangat kaya
dengan tumbuh-tumbuhan sumber pewarna alami.
Klorofil atau pigmen utama tumbuhan
banyak dimanfaatkan sebagai food suplement yang dimanfaatkan untuk membantu
mengoptimalkan fungsi metabolik, sistem imunitas, detoksifikasi, meredakan
radang (inflamatorik) dan menyeimbangkan sistem hormonal (Limantara, 2007 dalam
yuniwati 2012). Klorofil juga merangsang pembentukan darah karena menyediakan
bahan dasar dari pembentuk haemoglobin (anonim, 2008 dalam Yuniwati 2012).
Peran ini disebabkan karena struktur klorofik yang menyelupai hemoglobin darah
dengan perbedaan pada atom penyusun inti dari cincin porfirinnya.
Beberapa tanaman dikenal sangat kaya
dengan pigmen klorofil, yaitu diantaranya daun suji. Berdasarkan penelitian
Istichomah (2004) dalam Limantara (2008) (dalam Prasetyo 2012) kandungan
klorofil dalam daun suji adalah sekitar 2053,8 µg/g. Sedangkan berdasarkan
hasil penelitian Prangdimurti (2006) menunjukkan bahwa daun suji segar memiliki
kadar air basis basah sebesar 73,25% mengandung 3.773,9 ppm klorofil yang
terdiri dari 2.542,6 ppm klorofil a dan 1250,3 ppm klorofil b.
Daun suji banyak digunakan sebagai
pewarna hijau pada makanan, kue-kue tradisional dan minuman. Selain memberikan
warna hijau, daun suji juga memberikan aroma harum yang khas walaupun tidak
seharum daun pandan.
Menurut hasil survey, jumlah tanaman
suji sangat melimpah di Indonesia dan dapat dengan mudah didapat tanpa merogoh
kocek yang dalam. Hal ini dikarenakan sifat tanaman suji yang dapat dengan
mudah beradaptasi dengan lingkungan, hanya dengan tersedianya air yang cukup
saja tanaman ini sudah mampu bertahan hidup. Oleh karena itu, perlu adanya
pengembangan terkait pemanfaatan daun suji sebagai pewarna makanan alami.
Penyediaan bahan dalam bentuk ekstrak pewarna akan membantu kepraktisan dalam
aplikasi penambahan warna makanan.
GAMBARAN KHUSUS
Kondisi Kekinian
Pada kenyataannya penggunaan pewarna
makanan alami semakin lama semakin ditinggalkan produsen makanan. Hal ini
disebabkan oleh karena kurang praktis dalam pemakaiannnya terkait dengan belum
adanya pewarna alami yang dijual di pasaran sehingga produsen makanan harus
membuat sendiri pewarna makanan yang dibutuhkan tersebut. Disamping itu
kelemahan dari penggunaan pewarna alami adalah warna kurang stabil yang bisa
disebabkan oleh perubahan PH, proses oksidasi, pengaruh cahaya dan pemanasan,
sehingga intensitas warnanya sering berkurang selama proses pembuatan makanan.
Akibatnya produsen makanan banyak yang beralih ke pewarna makanan sintesis.
Perkembangan teknologi menjadi salah
satu faktor pemicu semakin berkembang dan dibutuhkannya bahan pewarna makanan.
Sayangnya, penggunaanya sering kali tidak benar. Memang penambahan bahan
pewarna pada makanan dilakukan untuk memberi kesan menarik bagi konsumen,
menyeragamkan warna makanan, menstabilkan warna, menutupi perubahan warna
selama proses pengolahan, dan mengatasi perubahan warna selama penyimpanan.
Pemerintah telah mengatur penggunaan pewarna ini, namun masih banyak produsen
pangan yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang berbahaya bagi kesehatan,
misalnya pewaarna untuk tekstil atau cat yang umumnya mempunyai warna lebih
cerah, lebih stabil selama penyimpanan, dan harga lebih murah daripada pewarna
makanan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya karena bahan ini dapat menyebabkan
kanker dan penyakit lainnya. Kurangnya sosialisasi tentang bahaya dari pewarna
ini menyebabkan masyarakat menjadi bersikap masa bodoh.
Di Indonesia, karena UU penggunaan
zat pewarna belum ada, terdapat kecenderungan penyalahgunaan pemakaian zat
pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil
dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi
kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya
penyalahgunaan zat pewarna tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan rakyat mengenai
zat pewarna makanan, atau disebabkan karena tidak adanya penjelasan pada label
yang melarang penggunaan senyawa tersebut untuk bahan pangan. Disamping itu,
harga zat pewarna untuk industri relatif jauh lebih murah dibandingkan zat
pewarna untuk makanan. Hal ini disebabkan bea masuk zat pewarnauntuk bahan
makanan jauh lebh tinggi dari pada zat pewarna untuk bahan makanan.
Hingga saat ini aturan penggunaan
zat pewarna di Indonesia diatur dalam SK Mentri Kesehatan RI tanggal 22 Oktober
1973 No. 11332/A/SK/73. Tetapi dalam peraturan itu belum dicantumkan tentang
dosis penggunaannya dan tidak adanya sangsi bagi pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut.
Berdasarkan penelitian Food and
Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO), didapatkan
bahwa penggunaan zat pewarna sintesis pada makanan dan minuman mencapai 70%.
Salah satu jenis pewarna yang digunakan yaitu Rhodamin B. Pewarna ini merupakan
pewarna sintesis yang digunakan pada industri tekstil dan kertas serta dilarang
penggunaannya sebagai pewarna makanan karena berbahaya bagi kesehatan serta
nersifat toksik dan karsinogenik.
Tanaman suji, konon kabarnya berasal
dari negara Zaire dan Kamerun. Tanaman ini sangat mudah beradaptasi dan tumbuh
diberbagai jenis tanah dan tempat, bahkan dapat tumbuh dengan baik hanya dengan
merendam di dalam air (mendapat pasokan air yang cukup). Pada umumnya suji akan
tumbuh didaerah dengan iklim tropis atau subtropis. Penyabaran tanaman ini
meliputi kawasan India, Myanmar, Indo-Cina, Cina bagian selatan, Thailand,
Jawa, Filipina, sulawesi, Maluku, New Genia dan australia bagian utara. Suji
akan tumbuh subur hingga ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut, dan
menyukai daerah pegunungan atau dekat aliran (sumur, sungai kecil). [Lemmens,
R.H.MJ, 2003; anonim, 2011 dalam Prasetyo 2012].
Klasifikasi lengkap tanaman suji
sebagai berikut: [Lemmens, R.H.M.J., 2003 ; Anonim, 2011 dalam Prasetyo 2012]
Kingdom :
Plantae
Divisio :
Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Infra divisio : Radiatopses
Class :
Monocotyledoneae
Subclass :
Lilidae
Superorder : Lilianae
Ordo :
Liliales
Famili :
Liliaceae
Genus :
Pleomele
Spesies :
Pleomele angustifolia N.E.Br
Daun suji adalah tanaman perdu yang
dapat mencapai ketinggian 8 meter. Bentuk daunnya memanjang dan tersusun
melingkar, memita dan kemudian menyempit di bawah dasar pelepah, sangat
meruncing dengan panjang 16-20 cm, lebar 3-4, pertulangan sejajar, dan berwarna
hijau tua. Dau suji memiliki rasa yang tidak pahit, berbau harum dan bersifat
dingin. Bagian akar dari tumbuhan suji ini tergolong akar serabut dan biji dari
tumbuhan suji ini berkeping tunggal atau monokotil. Bagian batang tumbuh engan
tegak, berkayu, berakur melintang, dan berwarna putih kotor. Tumbuhan ini
sesekali berbunga dan bunganya putih kekuningan dan dapat menyebarkan arooma
wangi, terutama pada sore hari. Kadang-kadang dengan semburat ungu. Buah
berbentuk bulat dengan 3 cuping, diameter 1,5-2,5 cm, berwawarna jingga terang,
dan masing-masing biuah mengandung 1-3 biji.
Produksi tanaman suji di Indonesia
sepanjang 8 tahun terakhir disajikan pada tabel 1. [Badan Pusat Statistik,
2011]
Tabel 1. Produksi tanaman suji di
Indonesia
Tahun
|
Produksi
(Ton)
|
2003
|
2.553.020
|
2004
|
1.778.582
|
2005
|
1.131.621
|
2006
|
905.039
|
2007
|
2.041.962
|
2008
|
1.845.490
|
2009
|
2.262.505
|
Produktivitas dan ketersediaan suji di
Indonesia dari tahun ke tahun sangat besar, terutama di daerah Jawa Tengah. Hal
ini mendorong ide untuk meningkatkan pemanfaatan suji sebagai salah satu
potensi lokal Indonesia yang patut diperhitungkan. Konon kabarnya, keberadaan
suji di Indonesia bahkan mencapai produktivitas tertinggi dibandingkan kawasan
Asia Tenggara lainnya.
Pemanfaatan daun suji sebagai pewarna
makanan perlu dikembangkan lagi, melihat daun suji yang melimpah serta pewarna
alami lebih aman. Sebenarnya, daun suji dapat secara langsung dijadikan pewarna
alami hanya dengan menambahkannya ke dalam masakan. Namun ada beberapa
kelemahan dalam mekanisme ini, salah satunya adalah daya tahan daun suji
tersebut. Kelemahan ini tampak terlihat jelas pada daun suji yang telah dipetik
beberapa hari yang lalu. Daun tersebut akan mengalami penurunan kualitas, baik
kualitas dari kesegaran daun maupun kualitas warna (dari hijau berubah menjadi
kecoklatan dan akhirnya hitam) sehingga zat warna dalam daun suji tidak dapt
digunakan lagi. Oleh karena itu untuk memaksimalkan ketahanan dari kualitas zat
warna dalam daun suji perlu dilakukan ekstraksi. Selain itu, perlu digunakan
larutan pengekstrak yang cocok dengan sifat klorofil dimana klorofil tersebut
bisa larut di dalamnya. Proses lain seperti blanching juga perlu diterapkan
dalam ekstraksi karena dengan adanya blanching akan menghambat kerja dari enzim
klorofilase. Perlakuan-perlakuan selama pengolahan seperti perlakuan asam,
panas tinggi dan browning enzimatis. Dengan diekstraksinya zat warna hijau ini,
maka penggunaan zat warna hijau menjadi lebih praktis dan diharapkan nilai
ekonomis dapat meningkat.
Metode-Metode
Dalam jurnal Prasetyo dkk (2012)
dijelaskan tentang hasil penelitiannya mengenai metode-metode ekstraksi daun
suji, mulai dari prosedur perlakuan awal bahan baku yang tepat sampai terbentuknya
kristal ekstraksi, sehingga proses ekstraksi dapat berlangsung optimal. Alat
dan bahan yang digunakan Prasetyo dkk dalam pembuatan ekstrak daun suji yaitu:
1.
Alat
Ekstraktor
bacth dengan kapasitas 1 Lyang dilengkapi dengan waterbath, thermostat, kondensor
berupa kondensor Allihin, motor pengaduk, impeller, dan termometer.
2.
Bahan
a.
Daun suji
b.
Aseton 80 %
Sedangkan metode-metode pembuatan
ekstrak daun suji yang nantinya dijadikan sebagai pewarna makananyaitu:
1.
Perlakuan Awal daun Suji
Daun
suji yang akan digunakan harus mendapat perlakuan khusus sebelum dilakukannya
proses ekstraksi. Perlakuan awal yang harus dilakukan meliputi:
a.
Determinasi tanaman suji
b.
Sortasi basah
Sortasi
dilakukan berdasarkan warna dan kesegaran daun suji yang akan digunakan. Daun
yang terpilih dibilas dengan air untuk menghilangkan kotoran-kotoran, tanah
atau bahan asing lainnya; dalam hal ini tidak dilakukan perendaman untuk
mencegah hilangnya klorofil yang dapat sedikit didalam air, kemudian
dilanjutkan dengan blanching pada suhu 100°C selama 1 menit. Setelah blanching
daun menjadi kayu layu tapi warna daun tidak berubah menjadi coklat seperti
yang diperkirakan bila klorofil mengalami degradasi warna secara termal. Warna
daun berubah menjadi hijau yang lebih pekat.
c.
Pengecilan ukuran
Mula-mula
daun suji dipotong kecil, kira-kira 1 cm, kemudian deblender agar diperoleh
daun suji dengan ukuran yang cukup halus.
d.
Pengeringan
Pengeringan
dilakukan untuk membantu penghancuran dinding sel daun sehingga diharapkan
proses ekstraksi dapt berlangsung lebih optimal. Selain itu juga agar tidak
mudah rusak (busuk). Pengeringan dilakukan selama 2 malam secara alamiah dengan
cara diangin-anginkan dalam keadaan gelap mengingat sifat klorofil yang tidak
stabil pada sinar matahari dan pada kondisi atmosferik menggunakan udara
pengering berupa udara ruang kemudian diiringi dengan pengeringan di dalam oven
vakum (pada tekanan 600 mmHg) pada suhu 35 °C hingga kadar airnya 8-10%
e.
Sortir kering
Tahap
ini dilakukan dengan cara memisahkan pengotor yang masih tertinggal pada daun
suji setelah proses pengeringan dilakukan. Untuk kotoran kering yang ringan,
pemisahan kotoran dengan bahan baku dapat dilakukan dengan penampian namun bila
kotoran seperti kerikil atau batu dipisahkan dengan tangan.
f.
Pengecilan ukuran lanjutan dan
penyeragaman ukuran
Daun
suji mengalami pengecilan ukuran lebih lanjut dengan diblender agar diperoleh
daun suji dengan ukuran yang cukup halus kemudian diayak dengan saringan mesh
berukuran 10-50 mesh.
2.
Ekstraksi klorofil
Ekstraksi
adalah suatu cara pemisahan dimana komponen dari padatan atau cairan
dipindahkan ke cairan yang lain yang berfungsi sebagai pelarut. Ekstraksi dapat
dilakukan untuk campuran yang mempunyai titik didih berdekatan, sehingga tidak
dapat dipisahkan dengan cara distilasi. Perpindahan masa antar fase terjadi
bila terdapat perbedaan konsentrasi dimana berpindah dari sistem yang lebih
tinggi konsentrasinya ke sistem yang lebih rendah konsentrasinya (Treyball,
1984). Ekstraksi klorofil dilakukan di dalam sebuah reaktor batch berpengaduk
dengan tahapan sebagai berikut:
a.
Serbuk daun suji yang telah mengalami
perlakuan awal dan 500 ml pelarut berupa aseton 80% dimasukkan ke dalam ekstraktor
batch sesuai dengan rasio massa umpan dan pelarut (F:S) yaitu 1:17,1. Aseton
akan menyebabkan terjadinya denaturasi protein yang mengikat klorofil sehingga
klorofil dapat lepas dari ikatan dengan protein dan ikut terekstraksi dalam
pelarut.
b.
Temperatur operasi ekstraksi diatur pada
suhu 36,2°C
c.
Ekstraksi dilangsungkan pada kecepatan
pengadukan 175rpm
d.
Sampel ekstrak diambil dan diukur
absorbansinya hingga pelarut jenuh (ditandai dengan konstannya pembacaan
absorbansi)
e.
Setelah ekstraksi selesai, ekstrak dan
rafinat dipisahkan dengan cara filtrasi vakum menggunakan corong Buchner
f.
Klorofil dan pelarut kemudian dipisahkan
dengan evaporator vakum pada temperatur 35-40°C hingga volume hasil pemekatan
mencapai kurang dari 50 ml
g.
Ekstrak pekat disentrifugasi pada
kecepatan 10.000 rpm selama 45 menit untuk memisahkan pekatan klorofil dari
pelarutnya yang terbentuk dari ekstrak.
h.
Ekstrak pekat klorofil yang diperoleh
pada bagian supernatanhasil sentrifugasi kemudian didinginkan dengan cepat pada
suhu 0-4°C selama 30 menit menggunakan ice bath hingga diperoleh kristal
klorofil
i.
Pekatam klorofil yang diperoleh kemudian
dikeringkan dengan oven pada suhu 35°C selama 1 minggu hingga kadar airnya
mendekati 0%.
Pembuatan pewarna makanan alami
dalam bentuk bubuk (kristal) dari daun suji telah selesai. Dan yield
(persentase jumlah klorofil yang diperoleh dibandingkan terhadap kandungan
klorofil di dalam bahan baku yang secara tidak langsung menunjukkan efektivitas
ekstraksi) yang diperoleh yaitu 92,9796%. Jadi, dengan menggunakan metode
diatas dapat diperoleh pewarna hijau secara optimal.
Dan selanjutnya, kristal klorofil
ini dapat dicampur dengan adonan makanan maupun minuman, sehingga makanan atau
minuman dapat berwarna hijau. Warna yang muncul tidak kalah dengan warna yang ditimbulkan
dari pewarna makanan sintesis, karena yield yang diperoleh melalui metode
diatas mencapai 92,9796%.
Upaya Promosi
Daun suji memiliki beberapa
kelebihan yang menyebabkan daun ini perlu untuk dikembangkan pemanfaatannya
sebagai pewarna makanan. Daun suji mudah tumbuh diberbagai tempat karena
kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan sangat baik dan sangat cocok dengan
daerah tropis. Indonesia merupakan salah satu negara tropis, sehingga
keberadaannya sangat melimpah. Dan untuk mendapatkannya tidak perlu
mengeluarkan banyak biaya. Maka tak heran jika daun suji ini sangat populer di
kalangan masyarakat Indonesia. Sejak dulu masyarakat Indonesia memang sudah
memanfaatkan daun suji ini menjadi pewarna makanan, tetapi metode yang
digunakan masih tradisional sehingga warna yang muncul pada makanan kurang
menarik. Hal ini mungkin karena pigmen klorofil yang ada di daunsuji tidak bisa
termanfaatkan secara optimal. Maka, dengan adanya ekstraksi dengan metode yang
telah dijelaskan diatas dapat diperoleh pigmen klorofil yang optimal sehingga
bisa membuat makanan lebih menarik.
Menurut penelitian daun suji ini
memiliki kandungan klorofil yang tinggi jika dibandingkan dengan tumbuhan lain.
[Anonim, 2011 dalam Prasetyo 2012] beberapa rasio klorofil a dan b pada
berbagai jenis daun pada Tabel 2.
Tabel
2. Berbagai rasio klorofil a dan b pada berbagai jenis daun
Jenis
|
KANDUNGAN
KLOROFIL (μg/g bahan)
|
|||
a
|
b
|
Total
Rasio
|
a
: b
|
|
Daun singkong
|
2853,2
|
1114,3
|
3967,5
|
2,6:1
|
Daun katuk
|
1688,1
|
513,9
|
2202,0
|
3,3:1
|
Daun poh-pohan
|
1495,4
|
587,1
|
2013,5
|
2,9:1
|
Daun kangkung
|
1493,6
|
519,9
|
2013,5
|
2,9:1
|
Daun bayam
|
1205,0
|
255,9
|
1460,9
|
4,7:1
|
Daun kemangi
|
842,9
|
479,8
|
1322,7
|
1,8:1
|
Caisin
|
815,0
|
393,1
|
1208,1
|
2,1:1
|
Selada
|
482,7
|
148,6
|
631,3
|
3,2:1
|
Alang-alang
|
1831,2
|
495,1
|
2326,3
|
3,7:1
|
Rumput gajah
|
2123, 7
|
549,5
|
2673,2
|
3,9:1
|
Sumber
: Anonim, 2011 dalam Prasetyo, 2012
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa kandungan klorofil pada daun suji lebih tinggi dari pada yang lain. Ini
mengindikasikan bahwa warna hijau pada ekstrak daun suji juga lebih pekat
daripada yang lain sehingga warna hijau yang dimunculkan pada makanan juga akan
lebih bagus dan menarik.
Jika dibandingkan dengan pewarna
sintetik, pewarna dari daun suji ini lebih bersifat aman. Pewarna sintetik
bersifat negatif untuk tubuh, ada yang bersifat toksik dan bahkan dapat
menyebabkan kanker. Daun suji tidak menyebabkan efek yang membahayakan tubuh.
Justru daun ini memiliki kelebihan yang lain yaitu, selain sebagai pewarna
pangan, daun suji dapat digunakan sebagai pewarna kertas. Dibidang kosmetika,
ekstrak daun suji digunakan sebagai penyubur rambut. Dibidang pengobatan, dapat
menobati nyeri lambung dan haid, bahkan sebagai penawar racun (anti disentri).
Rasa daun suji juga menjadi point
tambahan dalam pembuatan pewarna makanan. Daun suji tidak terasa manis, jadi
sangat aman untuk dijadikan sebagai pewarna makanan, sehingga makanan yang
diberi pewarna ini rasanya tidak berubah dan juga konsumen tidak meras
terganggu dengan rasa makanan.
Upaya preventif
Penggunaan pewarna makanan telah
banyak memperoleh sorotan baik di luar negeri maupun di dalam negeri sehubungan
dengan segi-segi keamanannya. Tidak dapat disangkal bahwa pewarna makanan tidak
berperan dalam memperbaiki nilai gizi makanan kecuali beta-karoten, apo-karoten
dan riboflavin dan juga sama sekali tidak diperlukan untuk survival, akan
tetapi ditinjau dari sudut estetika bahan pewarna ini amat penting.
Pertama-tama karena keberhasilan dalam pemasaran suatu produk sangat ditentukan
oleh penampakannya, sehubungan dengan kenyataannya bahwa konsumen pada umumnya
menilai kualitas flavour dari warna produk tersebut. Kedua, produk yang
memiliki warna yang menarik akan memiliki peluang yang lebih besar untuk dibeli
konsumen dan dikonsumsi dan hal ini selanjutnya dapat menjamin diet yang lebih
beranekaragam sehingga secara keseluruhan akan turut berperan dalam menciptakan
masyarakat dengan tingkat gizi yang lebih baik.
Berdasarkan uraian tersebut maka
diperlukan pengembangan pewarna alami. Pengembangan tersebut misalnya bisa
melalui pembuatan ekstraksi dengan memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi pigmen klorofil pada daun suji. Faktor tersebut diantaranya suhu,
pH, kecepatan pengadukan, waktu yang diperlukan untik ekstraksi, pemilihan zat
sebagai pelarut serta volumenya. Jika faktor-faktor tersebut sudah dipenuhi
optimalisasinya maka ekstrak yang dihasilkan akan menampilkan warna hijau yang
optimal pula. Hal tersebut akan menarik industriawan untuk membuat pewarna dari
daun suji,sehingga nantinya akan diproduksi pewarna daun suji dalam jumlah
besar, dan masyarakat bisa menggunakannya dengan praktis tanpa repot-repot
membuat pewarna makanan dari daun suji sendiri.
Peran pemerintah juga sangat penting
dalam upaya preventif, yaitu pemerintah seharusnya membuat UU penggunaan zat
pewarna, agar tidak terdapat kecenderungan penyalahgunaan pemakaian zat pewarna
untuk sembarang bahan pangan. Selain itu walaupun dalam SK Menteri Kesehatan RI
tanggal 22 Oktober 1973 No. 11332/A/SK/73 sudah mengatur tentang penggunaan zat
warna, tetapi dalam peraturan itu belum dicantumkan tentang penggunaaan zat
warna, dosis penggunaannya dan tidak adanya sanksi bagi pelanggar ketentuan
tersebut. Seharusnya dosis penggunaan dicantumkan dan juga terdapat sanksi bagi
pengguna zat warna yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Mengadakan sosialisasi kepada
masyarakat, terutama masyarakat yang masih awam tentang macam-macam pewarna,
efek dari jika pewarna tersebut tidak diguankan dengan benar. Timbulnya
penyalahgunaan zat pewarna disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai
zat pewarna makanan. Selain itu pada label kemasan seharusnya disertakan
penjelasan tentang spesifikasi dari pewarnna tersebut serta larangan penggunaan
senyawa tersebut untuk bahan pangan, jika pewarna tersebut memang bukan pewarna
makanan (misal pewarna tekstil)
Melakukan pelatihan mengenai
pengguanaan pewarna makanan meliputi, pengenalan pewarna makanan sintesis dan
alami, ambang batas penggunaan pewrana sintesis dan efeknya, pembuatan pewarna
alami dan aplikasinya pada pengolahan makanan dan minuman.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Hijau
Klorofil Pewarna Alami untuk Pangan. Seafast Center IPB dalam
http://seafast.ipb.ac.id/tpc-project/wp-content/uploads/2013/03/09-hijau-klorofil.pdf.
Diakses pada tanggal 2 April 2014
Anonim.
2006. Pewarna Pangan. Ebookpangan.com
dalam http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/PEWARNA-PANGAN.pdf
Diakses pada tanggal 2 April 2014
Marwati, Siti. 2013. Pembuatan Pewarna Alami Makanan dan
Aplikasinya.
Disertasi Jurusan
Pendidikan Kimia FMIPA UNY dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/siti-marwati-msi/c10.pdf Diakses
pada tanggal 2 April 2014
Murni Yuniwati dan Ari Wijaya Kusuma dkk. 2012. Optimasi Kondisi Proses Ekstraksi Zat Pewarna dalam Daun Suji dengan
Pelarut Etanol. Prosiding Seminar
Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III. Jurusan Teknik Kimia, Institut Sains &
Teknologi AKPRIND Yogyakarta dalam http://repository.akprind.ac.id/sites/files/conference-proceedings/2012/yuniwati_14374.pdf Diakses pada tanggal 2 April 2014
Prangdimurti, Endang dan Deddy Muchtady dkk. 2006. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Suji
(Pleomele angustifolia N.E Brown). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan
Vol. XVII No. 2. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB dalam http://repository.ipb.ac.id/bitstream/123456789/42297/1/SCANING14965.pdf
Diakses pada tanggal 2 April 2014
Prasetyo, Susiana dan
Henny Sunjaya dkk. 2012. Pengaruh Rasio Massa Daun Suji / Pelarut,
Temperatur dan Jenis Pelarut Pada Ekstraksi Klorofil Daun Suji Secara Batch
dengan Pengontakan Dispersi. Disertasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Universitas Katolik Prahayangan dalam http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/view/177/682 Diakses pada tanggal 2 April 2014
Putri, Widya Dwi Rukmi dan Elok Zubaidah dkk. 2003. Ekstraksi
Pewarna Alami Daun Suji, Kajian Pengaruh Blanching dan Jenis Bahan Pengekstrak.
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 4 (1) : 13-24. Fakultas Teknologi Pertanian, Unibraw dalam http://jtp.ub.ac.id/index.php/jtp/article/viewFile/147/516 Diakses pada tanggal 2 April 2014
Wijaya, C. Hanny dan Karina Bianca dkk. 1995. Pengaruh Penambahan ZnCl2 dalam Pembuatan Pewarna
Bubuk dari Daun Suji (Pleomele angsutifolia) dan Daun Pandan (Papandanus
amarylyfolius Roxb.). Jurnal
Teknologi dan Industri Pangan Vol VI No.1. Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB dalam http://www.iptek.net.id/ind/pustaka_pangan/index.php?ch=puspa&id=133&hal=1 Diakses pada tanggal 2 April 2014
Yefrida
dan Lidya Sesrita dkk. 2008. Kestabilan Pewarna Makanan Alami yang
Berasal dari Daun Suji (Pleomale
Angustifolia N E Brown). Jurusan
Kimia, FMIPA Unand dalam http://repository.unand.ac.id/550/1/artikel_DIPA_09_Yefrida.doc
Diakses pada tanggal 2 April 2014
.